Aku terduduk di pojok dapur. Suara itu menggema di sekeliling rumah, bersahut-sahutan. Hampir setiap minggu sekali. Aku terduduk di antara pecahan piring dan gelas di dapur. Ah, suara sesuatu pecah terlempar lagi. Tampaknya vas kaca yang dibeli Ibu di pameran seni di Bogor waktu itu sudah tinggal puing. Aku merangkak dan meringkuk di bawah meja. Ah, lututku tergores beling dari gelas kesayanganku yang telah pecah berkeping-keping. Aku terdiam di sana menekuk lutut dan menangis.
Ini bukan kali pertamaku mengalami hal ini. Aku sudah muak, ini sudah terjadi berulang-ulang. Aku tidak tahu siapa yang harus kubela. Ingin rasanya keluar dari rumah ini. Penuh teriakan tanpa ketenangan lagi. Aku tidak tahu kapan semua ini dimulai. Mungkin ketika aku diajak bapak makan ke Lido, Sukabumi ketika aku masih kelas lima SD. Ketika itu aku pikir aku menang karena adik dan ibu ditinggal di rumah. Aku diperhatikan lebih dari adikku yang masih TK dan rewel itu. Namun aku tidak tahu waktu itu ternyata ada seorang wanita di sana. Bapak cuman berkata, “Perkenalkan Sita, ini anakku dari istri pertama, Abdullah. Panggilannya Bedul. Bedul ini ibumu juga.” Aku spontan melongo.
Bukan satu dua kali aku bertemu “wanita-wanita Bapak”, sudah tidak bisa dihitung jari lagi. Aku menolak memanggil mereka Ibu. Toh, mereka tidak pernah ada yang awet lebih dari 6 bulan bersama Bapak. Lagipula aku tidak tega melihat Ibu yang terus-terusan menangis karena bapak. Padahal Bapak seorang guru agama di sebuah sekolah negeri yang lokasinya lumayan dekat dengan rumah. Tapi entah mengapa Bapak berperilaku tidak berperikemanusiaan terhadap Ibu. Wanita-wanita itu memang istri sah bapak. Mereka menikah siri, bahasa agamanya atau menikah tanpa catatan sipil. Bapak selalu menjaga istri-istrinya selalu dalam batas Islam, tidak pernah lebih dari empat dalam satu periode. Semuanya pasti bapak kenalkan kepadaku tanpa sepengetahuan Ibu. Semuanya tak terkecuali.
Ibu yang dulunya seorang aktivis di universitasnya tidak mau tinggal diam. Ibu yang merasa dirinya telah diperlakukan tidak adil seringkali mencari tahu data-data tentang istri baru bapak. Ibu tidak pernah ragu untuk membawa senjata tajam atau kadang memanggil polisi. Acungan senjata tajam sudah menjadi pemandangan biasa di dalam rumah ini. Pernah Ibu menyeretku dan menanyakan kepadaku di mana rumah istri yang baru saja diperkenalkan oleh Bapak. Bersama beberapa anggota polisi kami menyambangi rumah tersebut. Semua ribut dan teriakan terdengar di sana sini. Ibu seringkali menampar istri baru Bapak atau Bapak yang kadang memukul Ibu. Beruntung aku ataupun adik tidak pernah mendapatkan bogem mentah dari Bapak atau Ibu. Hanya saja teriakan, pecahan kaca setiap hari membuatku tidaklah bisa menganggap rumah tempat tinggal. Ini sebuah medan perang.
Buruknya puncak dari segala masalah selalu terjadi di saat aku akan menghadapi Ebtanas. Tiga tahun lalu dan juga hari ini. Besok ujian Matematikaku sama seperti tiga tahun lalu. Aku tidak mengharapkan hal ini terjadi namun aku sudah belajar dari jauh-jauh hari untuk menghindari hal yang mungkin terjadi. Hari itu, Bapak pulang ke rumah sekitar jam setengah sepuluh, adik-adik sudah tidur. Tampak tenang awalnya. Bapak meminta kopi hitam dan Ibu membuatkannya. Aku belajar di meja makan, mencoba mencerna hitung-hitungan bangun ruang yang sudah kulupakan setelah ulangan harian setahun lalu. Kemudian Ibu menaruh gelas kopi itu dengan sedikit gebrakan di depan Bapak.
“Nih kopinya, jadi si Arum ga nyediain ya di sana?” ketus Ibu.
“Oh, tadi ga pulang ke sana. Lagi di rumah orang tuanya,” Bapak menjawab santai.
Saat itu pula Ibu datang cepat ke arahku. Menjewerku sambil menyeretku ke depan Bapak.
“Arum, Dul! Arum! Nama siapa lagi yang belum kamu sebutkan ke Ibu, hah? Kamu senang ya Ibu malu dengar semua dari tetangga? Senang?”
“Ibu. Sakit, Bu. Sakit!” jeritku payah. Aku mulai menangis.
“Nangis kamu? Nangis? Memang Ibu tidak sedih, memang hati Ibu tidak sakit? Anak pertama Ibu yang Ibu gadang-gadang membela si hidung belang ini?” teriak Ibu sembari mengambil gelas kopi yang masih panas itu dan menyiramkannya ke muka Bapak.
Dan seketika tamparan itu mendarat di pipi Ibu. Tidak keras tapi cukup memulai pertengkaran hebat. Adu argumen makin keras, tak terarah. Ibu mulai mengambil beberapa barang pecah belah dari atas meja. Gelas kesayangan yang kudapat dari teman dekatku yang pindah ke Australia jadi salah satu sasarannya. Aku hendak mengambil kepingannya sebelum remuk terinjak namun terlambat. Pecahan itu terinjak sepatu ayah dan lututku tergores salah satu kepingannya. Teriakan makin meninggi dan aku hanya menangis di bawah meja. Aku lelah, aku lelah.
Saat itu, aku melihat pintu dapur terbuka. Suara tinggi argument-argumen tak masuk akal itu memenuhi pikiranku. Pandanganku kabur karena air mata yang menggenang. Nafasku sulit karena sesenggukan. Aku tidak mengerti bagaimana, namun ketika pikiranku cerah aku sudah berada di seberang jalan. Aku naik salah satu angkot yang menepi mencari penumpang. Kurogoh kantongku. Masih ada tiga lembar seribuan sisa uang jajan minggu ini. Entah apa yang akan kulakukan mengingat besok hari Ebtanas matematikaku. Angkot ini yang biasa membawaku ke sekolah. Kubiarkan angkutan ini membawaku ke sekolah di jam yang tidak biasa ini.
***
Hari ini ulang tahunku ketiga puluh dua, bersamaan dengan hari pernikahanku. Wanita di sampingku baru kukenal sekitar setahun lalu. Seorang yang begitu berprestasi, santun, ramah, dan idaman setiap mertua. Aku bertemu dengannya ketika menyelesaikan disertasiku di salah satu universitas negeri di Jakarta. Istriku ini anak bungsu dari salah satu petinggi ormas agama yang begitu disegani. Tamu yang kusalami sedari tadi tidak ada yang kukenal. Istriku pandai membawa diri dan dengan ramah menyambut tamu-tamu dengan gelar yang begitu tinggi itu. Di sebelah jauh dari pelaminan berdiri Ibuku dengan senyum yang sangat menyenangkan hati bersama dengan seorang yang kukenalkan lima tahun lalu, salah satu board advisory di perusahaanku yang lama, seorang duda yang ditinggal mati belasan tahun lalu oleh istrinya. Bapak kuatur agar datang pada akad saja, sedang Ibu dan suami barunya bisa bertengger di pelaminan saat ini. Aku tidak mau merobek luka lama Ibuku. Beruntung Bapak datang sendirian tidak dengan serentet wanita-wanita yang sudah tak kukenal lagi siapa mereka semenjak lulus SMA.
Seorang yang kukenal dengan baik datang dan menyalamiku hangat, “Wah Dul, sudah insaf kamu ya sekarang. Cantik pula istri kau ini. Makasih ya diundang segala aku ini. Sampai tidak enak,” ujar Tigor yang saat itu terlihat sekali sangat berusaha untuk memakai pakaian tebaik yang ia punya dari lemari kain kecilnya. Tigor ini berandalan yang menemukanku sehari sebelum Ebtanas dan mengajakku ke kamar kostannya yang kecil untuk bermalam dan kemudian pergi Ebtanas esok paginya.
“Hush,” ujarku dan kemudian mencolek istriku hangat “Alhamdulillah sekali Maya mau sama aku, ya sayang?”
Istriku itu hanya tersenyum simpul dan malu-malu. Seorang yang benar-benar polos dan lugu, begitu hangat dengan sekelilingnya. Ada sedikit ketakjubanku bisa tiba-tiba memutuskan melamar perempuan sebaik dirinya dan diterima dengan baik.
Aku masih melihat kesana kemari menantikan undangan yang paling kutunggu. Aku memberikan undangan tersebut secara personal bulan lalu. Undangan yang mungkin kurang dinantikan oleh dirinya.
“Kamu yakin?” ujar teman istimewaku itu ketika aku memberikan undangan.
“Tidak terlalu. Tapi keluarga sudah menyetujui. Ibuku senang dan keluarga calon istriku pun tidak memberikan pertanyaan aneh-aneh.”
“Tapi, aku masih mencintaimu. Dan aku yakin kamu pun begitu. Apa yang begitu kurang?”
Aku terdiam dan hanya menjawab, “Aku harap kamu datang.”
Sampai acara lempar buket selesai dan semua alat foto sudah dirapikan oleh fotografer, aku tak kunjung melihat dirinya. Aku menghela napas panjang. Waktunya untuk merapikan diri. Hari ini melelahkan sekali. Aku memeluk dan mencium pipi istriku yang harus melepaskan dandanan yang kurasa sudah cukup membebani dirinya yang tidak terbiasa berdandan setebal itu. Aku mencium tangan ibuku dan memintanya beristirahat sembari menepuk ayah tiriku itu. Aku pun memutuskan untuk kembali ke ruang rias pengantin pria yang seharusnya kosong melompong.
Setibanya di sana aku terkejut karena ternyata Randi ada di sana sembari menunggu dengan sebuket bunga di tangan.
“Selamat untuk kesayanganku. Selamat karena sudah meninggalkanku untuk seorang wanita,” katanya sembari berjalan di belakangku dan menutup pintu.
“Aku tidak akan meninggalkanmu untuk wanita-wanita lain seperti Bapakku. Karena wanitaku cuma hanya ada satu. Sedangkan pria-pria lain bersamaku kau kenal semua. Mau kuajak Tigor juga bersama malam ini?” ujarku sembari menangkupkan wajahnya dan mendaratkan ciuman rinduku untuknya.
Depok, 30 September 2016